NAMA:
MUHAMMAD HAMDAN
KELAS:
PMI 2/B
NIM:
171380051
FILM
AGORA
Hypatia
adalah nama seorang wanita yang hidup di Alexandria abad keempat Masehi.
Hypatia seorang filsuf, pelajar, ahli matematika, dan pakar astronomi terkemuka
di masanya. Salah satu cendikiawan wanita pertama. Hingga kini penemuan
hidrometernya masih digunakan untuk memisahkan minyak dengan air berdasarkan
densitas zat tersebut. Hypatia juga seorang pagan – penyembah berhala.
Sayangnya
tidak banyak dokumen-dokumen seputar Hypatia. Belum lagi ada juga
pertentangan-petentangan antara dokumen yang satu dengan yang lainnya. Jadi
saya hanya akan meresensi sebatas apa saja yang saya lihat di film ini.
Saat
itu, agama Kristen baru mulai masuk di Alexandria. Dan para penganut paganisme,
termasuk Agora dan bapaknya (Michael Lonsdale), dihadapkan pada sebuah kronik
agama besar masa itu. Bentrok antara penganut pagan dan kaum kristen seakan-akan
sudah tidak bisa dihindari lagi. Di masa itu, Hypatia (Rachel Weisz) dikenal
sebagai pengajar di Universitas Alexandria. Beliau terkenal sebagai tentor
seputar neoplatoisme. Hypatia punya berbagai macam murid, mulai dari pagan,
Kristen, hingga pelajar asing. Hypatia memang tidak sefanatik bapaknya untuk
urusan keyakinan. Pada kenyataannya, Hypatia memang bukan penyembah berhala
yang taat. Dua di antara bekas murid Hypatia yang terkenal adalah Orestes (di
film ini diperankan oleh Oscar Isaac), hakim wilayah Alexandria di masa itu,
dan uskup Synesius (di film ini diperankan oleh Rupert Evans).
Diceritakan
Orestes, yang mulanya seorang penyembah berhala namun dibaptis ketika menduduki
kursi pemerintahan, memendam cinta yang begitu mendalam pada Hypatia. Namun
Hypatia, seorang wanita yang hanya mendedikasikan seluruh hidup, jiwa dan
raganya, pada filsafat dan ilmu pengetahuan, menolak cinta tersebut dengan sapu
tangan bernoda darah datang bulan. Orestes masih menyimpan cintanya sekalipun
hanya dengan status sahabat. Hypatia menjadi orang kepercayaan Orestes selama
duduk di kursi pemerintahan.
Keeratan
hubungan Orestes dan Hypatia menimbulkan kronik politik antara pemerintahan
dengan kaum gereja yang dipimpin oleh uskup Cyril (Sami Samir). Cyril merupakan
tipikal pemuka agama anarkis dan fanatik yang menginginkan dominasi Kristen
penuh atas Alexandria. Bahkan dengan licik Cyril membuat kaum Ibrani angkat
kaki dari Alexandria. Dan Hypatia, seorang pagan dan terlebih juga seorang
wanita yang mempunyai pengaruh besar atas pemerintahan (sekalipun bukan anggota
pemerintahan), jelas menghalangi jalan Cyril.
Selain
memesona, sosok Hypatia juga digambarkan sebagai wanita muda yang bijak dan
sadar moral. Hypatia tidak membela kaumnya (penyembah berhala) ketika ia merasa
tindakan mereka tidak benar. Pun berani menentang ketika ia menganggap tindakan
yang dilakukan kaum kristen salah. Pembelaan Hypatia pada kaum kristen membuat
Syenisus, murid kristennya, terkagum-kagum padanya. Bukan hanya muridnya, Davus
(seorang tokoh fiksional yang diperankan oleh Max Minghella), budaknya juga
menyimpan cinta karena pesona seorang Hypatia. Sekalipun Davus pada akhirnya
memilih jalan kristen yang mengharuskannya berpisah dengan pujaan hati, Hypatia
lah yang membuat Davus mempertanyakan kembali arah imannya.
Hypatia
merupakan korban dari kronik agama, politik, iman versus pengetahuan, dan
dominasi maskulinisme. Sekilas, Agora memberikan indikasi sebuah film
anti-kristen. Banyak forum-forum dunia maya yang membahas muatan anti-kristen
di film ini. Bagi saya sendiri, Agora lebih berupa film anti-fanatisme dan
anti-anarkisme ketimbang anti-kristen. Muatan di film ini paralel dengan
keadaan sekarang di mana agama dan kitab-kitab suci masih sering kali digunakan
sebagai kambing hitam untuk pembunuhan dan pembantaian.
Sialnya,
muatan itu lah yang justru jadi pedang bermata dua. Agora seakan-akan tidak
pernah yakin tentang apa yang ingin diceritakan. Apakah tentang passion seorang
Hypatia? Atau tentang kronik politik, agama, dan terorisme? Hypatia adalah
seorang tokoh besar. Memasang Hypatia
sebagai tokoh utama jelas sebuah pilihan besar. Dan memasang Hypatia sebagai
martir semata merupakan pilihan berisiko. Sayangnya film ini tidak pernah
sampai pada passion seorang Hypatia. Alejandro Amenábar, yang sebelumnya
berhasil memuaskan saya melalui film The Sea Inside, tidak pernah memberikan
sosok Hypatia yang cukup meyakinkan, selain kecendikiawanannya, kebijakannya,
dan keperawanannya. Beliau malah terlalu sibuk memartirkan seorang Hypatia.
0 komentar:
Posting Komentar